Jalanan….Kehidupan atau Pelarian?!

Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan.
Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.
Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.
Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Pratinjau

Copyright © 2012 ARTIKEL PUNKTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.